Benarkah Hanya Dayak Iban yang Punya Aksara?

Hanya Dayak Iban yang Punya Aksara
Aksara Dayak Iban. Literasi tertinggi dan luar biasa. Fb Archieve Dayak.

 Oleh Masri Sareb Putra, M.A.

Pertanyaan pada judul narasi di atas bagai mengetuk pintu sebuah hutan belantara. Terra incognita yang jauh. Rimba yang tidak hanya menyimpan pepohonan, tetapi juga ingatan.

Di Borneo, ingatan sering hidup sebagai suara. Sebagai nyanyian panjang. Sebagai timang yang tidak putus sebelum fajar. Dan bahasa, yang di tempat lain berdiam di atas kertas, di sini bergerak di udara. Tanpa huruf.

Dari ratusan sub-suku Dayak, sebagian besar merawat dunia lisan itu tanpa aksara. Tradisi yang luas, lentur, dan kaya. Narasi yang berdiri bukan karena tulisan, melainkan karena memori yang dijaga oleh para tetua.

Karena itu wajar jika kita bertanya: Adakah yang pernah memecah keheningan ini dengan menciptakan tulisan?

Sejarah memberi jawaban yang sangat sederhana. Dan, pada saat yang sama, sangat janggal. Hanya satu. Suku Iban.

 

Kelahiran Dunging. Antara Mitos dan Modernitas

Tahun 1947. Dunia baru saja selesai dengan perang besar. Serawak berada dalam pusaran perubahan yang cepat. Bahasa Iban perlahan terdorong ke pinggir. Sekolah memakai bahasa lain. Administrasi memakai bahasa lain. Gereja memakai bahasa lain. Dalam ruang yang berubah itu, seorang lelaki Iban bernama Dunging anak Gunggu merasakan kesunyian lain. Kesunyian bahasa ibu yang kehilangan pijakan.

Dia bukan sarjana universitas. Dia bukan antropolog. Dia seorang pembaca tekun. Seorang pemikir yang bekerja dalam senyap. Ia mempelajari buku-buku misionaris. Ia menggambar garis-garis. Ia menimbang bunyi dan bentuk. Dari keprihatinan itu lahir sebuah aksara yang kelak disebut Aksara Dunging.

Aksara ini tidak lahir dari tradisi kuno. Ia bukan turunan Pallawa. Bukan bayangan Kawi. Bukan peninggalan kerajaan yang hilang. Ia lahir dari kesadaran modern. Kesadaran untuk menjaga bahasa agar tidak hanyut.

Pada awalnya ada tujuh puluh tujuh simbol. Terlalu banyak. Terlalu rumit. Lalu Dunging merapikannya menjadi lima puluh sembilan karakter. Dua puluh empat konsonan. Sejumlah vokal dan diftong. Bentuk-bentuknya geometris. Segitiga. Garis lurus. Sudut yang tegas. Seakan ia menarik aksara itu dari bentuk pedang atau mata parang.

Kelahiran aksara ini dekat dengan sebuah kisah lama di masyarakat Iban. Kisah tentang huruf-huruf purba yang hilang dibawa banjir besar. Kisah tentang tokoh bernama Renggi yang menelan huruf itu supaya tidak musnah seluruhnya. Sejak itu bahasa Iban hidup sebagai hafalan. Menyebar dari mulut ke mulut.

Para peneliti seperti Bisson atau Postma melihat mitos ini tidak sebagai sejarah, melainkan sebagai legitimasi kultural. Sebuah jembatan agar yang baru terasa seperti kembali pada asal. Aksara Dunging tidak menggali masa lampau. Ia justru membangun masa depan. Namun mitos memberi jalan agar masa depan itu terasa akrab.

 

Mengapa Tidak Ada Aksara Dayak Lain?

Pertanyaan ini sering muncul. Dan jawabannya tidak selalu mudah. Sebab dunia Dayak luas. Sangat luas. Ada Ngaju, Ma’anyan, Ot Danum, Kayan, Kenyah, Bahau, Bidayuh, Punan, dan ratusan lainnya. Setiap kelompok menyimpan seni rupa, ritual, dan sistem simbolik yang dalam. Tetapi tidak berkembang menjadi aksara fonetik.

Laporan antropologi Belanda dan Jerman abad ke sembilan belas mencatat hal yang sama. Laporan misionaris di Serawak dan Kalimantan menyampaikan pola yang sama. Tidak ditemukan sistem tulisan yang dapat mewakili bunyi.

Yang ada adalah:

  1. Simbol ritual pada suku Ngaju, Ma’anyan, dan Ot Danum. Simbol pada sandung atau tiwah. Itu lambang sakral, bukan huruf.
  2. Ukiran Kayan, Kenyah, dan Bahau. Aso, belawan, atau dayong. Indah dan kosmologis, tetapi tetap ikon, bukan fonetik.
  3. Motif Bidayuh dan Land Dayak. Geometris. Sarat makna. Namun bukan sistem bunyi.
  4. Pola Punan atau Penan yang sangat mengandalkan lisan. Mobilitas tinggi membuat tulisan tidak pernah menjadi kebutuhan.
  5. Motif Likhau atau Ukat pada Kenyah Lepo’ Tau yang pernah disangka sebagai aksara. Penelitian Rousseau dan Guerreiro membuktikan bahwa itu pola tenun dan ukiran. Tidak berfungsi sebagai huruf.

Karena itu, secara akademik, kesimpulannya cukup jelas. Tidak ada aksara fonetik lain di seluruh rumpun Dayak.

Mengapa demikian? Ada beberapa lapisan alasan.

Pertama, tradisi lisan Dayak luar biasa kuat. Masyarakat tidak memerlukan tulisan untuk menyimpan kisah atau hukum adat. Kedua, tidak ada pusat birokrasi besar seperti di Jawa atau Bali yang memerlukan dokumen tertulis. Ketiga, kontak dengan agama dunia dan pemerintahan kolonial terjadi relatif terlambat. Akibatnya tradisi baca tulis tidak menemukan lahan yang subur. Keempat, seni rupa Dayak berkembang sebagai ikonografi. Bukan sebagai alfabet.

Namun alasan paling sederhana justru yang paling manusiawi. Sebuah aksara kadang hadir karena ada seseorang yang mau menciptakannya. Dan di antara semua suku Dayak, orang itu adalah Dunging.

 

Aksara Dunging dalam Akademia dan Kebudayaan Kontemporer

Sejarah suatu aksara tidak berhenti pada sosok penciptanya. Ia diuji oleh waktu. Dan oleh para penggunanya. Pada dekade delapan puluhan dan sembilan puluhan, Aksara Dunging sempat meredup. Sekolah tidak mengajarkannya. Media massa tidak memakainya. Generasi muda Iban lebih akrab dengan huruf Latin.

Namun sejarah linguistik selalu menyimpan kejutan. Sejak awal abad dua puluh satu, muncul kembali gelombang baru. UNIMAS, Universiti Malaysia Sarawak, memasukkan Aksara Dunging ke dalam kurikulum resmi. Fakultas Bahasa dan Komunikasi menata kembali struktur fonetisnya. Mereka menuliskan standar.

Proyek Endangered Alphabets mengangkat nama Dunging sebagai salah satu aksara yang harus dilestarikan. Mesin terjemahan Google pada tahun dua ribu dua puluh empat menambahkan bahasa Iban. Aksara Dunging dapat ditampilkan sebagai opsi. Ini sebuah pengakuan teknologi atas identitas minoritas.

Generasi muda Iban tidak hanya mempelajarinya sebagai sistem huruf. Mereka memakai aksara ini sebagai estetika. Sebagai gerak kreatif. Penulis seperti Robert Menua Saleh menggunakannya untuk menerjemahkan puisi. Seniman mural menggambarnya di dinding desa. Poster budaya menampilkan aksara ini sebagai tanda kebanggaan.

Yang dulu lahir dari kecemasan seorang lelaki berubah menjadi gerakan kolektif.

 

Aksara Dunging dalam Studi Linguistik Dayak

Dalam teori linguistik, Aksara Dunging menarik karena beberapa alasan.

Pertama, ia tidak memiliki hubungan genealogis dengan aksara Asia Tenggara lain. Ia berdiri sendiri. Kedua, ia lahir dari satu individu, bukan dari evolusi bertahap. Ia berada dalam kategori aksara ciptaan, sejajar dengan huruf Cherokee yang dibuat oleh Sequoyah. Ketiga, aksara ini menjadi basis revitalisasi bahasa minoritas. Bahasa Iban memiliki penutur cukup besar. Namun tetap berada dalam posisi rentan. Aksara dapat menjadi pusat kebanggaan baru.

Dengan demikian, nilai penting Aksara Dunging tidak terletak pada umurnya. Melainkan pada fungsi sosialnya. Ia menjaga bahasa agar tidak dirampas modernitas. Ia menjadi ruang perlawanan yang halus.

 

Akankah Ada Aksara Dayak Lain di Masa Depan?

Ilmu pengetahuan selalu terbuka. Arkeologi Borneo belum menjelajahi semua lapisan tanahnya. Masih ada batu tua yang belum disentuh. Masih ada gua yang belum dipelajari. Jika suatu hari ditemukan aksara Dayak pra-kolonial, sejarah tentu berubah.

Namun hingga saat ini, dua ribu dua puluh lima, semua literatur yang tersedia memberi simpulan yang sama. Aksara Dunging adalah satu-satunya sistem tulisan fonetik Dayak yang terverifikasi.

Ia tunggal. Ia soliter. Tetapi justru dalam ketunggalan itu ada cahaya yang lain.

 

Mengapa Aksara Ini Penting?

Dalam banyak masyarakat, aksara lahir dari kekuasaan atau agama. Dunging berbeda. Ia lahir dari kegelisahan seorang lelaki yang tidak ingin bahasanya mati. Maka ia puitis. Ia seperti garis-garis yang ditarik untuk menahan ingatan agar tidak tenggelam.

Aksara ini tidak menyimpan undang-undang. Tidak mencatat perang. Tidak menuliskan perdagangan. Namun ia menyimpan sesuatu yang lebih sunyi. Ia menyimpan keinginan sebuah masyarakat untuk tetap ada.

Jika orang bertanya. Benarkah hanya Dayak Iban yang memiliki aksara? Secara akademis, jawabannya ya. Secara kultural, jawabannya ya dan itu penting. Secara puitis, jawabannya ya dan di dalam satu huruf yang berdiri sendiri itu ada suara yang menolak hilang.

Aksara Dunging tidak tua. Namun ia hidup. Dan sering kali yang bertahan bukanlah yang paling purba, melainkan yang paling dijaga.

Next Post Previous Post