PERSAKI Usulkan Reformasi Tata Kelola Hutan di DPR RI
Petrus Gunarso, Ph.D. (kedua dari kiri, baju batik lengan panjang) atas nama PERSAKI Usulkan Reformasi Tata Kelola Hutan di DPR RI. Dok. DPR RI, Komisi IV.
🌍 JAKARTA | BORNEOTRAVEL : Anggota Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (PERSAKI), Petrus Gunarso, Ph.D., memaparkan sejumlah rekomendasi strategis dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IV DPR RI, Selasa (25/6/2025).
Rekomendasi tersebut menyoroti pentingnya digitalisasi, penguatan kelembagaan hukum kehutanan, dan keadilan tata ruang demi kemakmuran masyarakat serta pelestarian hutan alam Indonesia.
Pemaparan ini menjadi bagian dari respons akademik dan profesional PERSAKI terhadap berbagai persoalan struktural dan kebijakan yang terkait dengan penataan kawasan hutan, konflik agraria, serta lemahnya perlindungan terhadap masyarakat adat dan petani hutan.
Digitalisasi, Klasterisasi, dan Hilirisasi Kehutanan
PERSAKI menekankan pentingnya digitalisasi pengelolaan kawasan hutan sebagai langkah menuju transparansi. Menurut Gunarso, keterbukaan informasi kawasan hutan, termasuk status dan perizinan, harus tersedia dalam platform digital yang mudah diakses masyarakat, termasuk melalui aplikasi seluler.
Selain itu, PERSAKI mendorong penerapan klasterisasi komoditas kehutanan berbasis kekayaan biodiversitas. Zonasi ini diharapkan dapat mendukung hilirisasi produk kayu dan non-kayu yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah ekonomi di tingkat lokal, sekaligus memperkuat ketahanan ekosistem hutan.
“Pendekatan berbasis biodiversitas bukan sekadar konservasi, tetapi juga strategi peningkatan produktivitas dan profitabilitas. Ini harus didukung reformasi sistem silvikultur, tidak hanya mengandalkan model TPI, TPTI, atau SILIN,” papar Gunarso.
Negara Harus Kuasai Kembali Kawasan Hutan untuk Rakyat
Gunarso juga menyoroti urgensi penguasaan kembali kawasan hutan yang telah dialihfungsikan atau dimanfaatkan secara ilegal. Ia menegaskan, pengambilalihan kembali oleh negara harus dilakukan demi kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan korporasi atau elit tertentu.
“Redistribusi kawasan hutan harus berlandaskan prinsip keadilan sosial dan selaras dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960),” tegasnya. Sinkronisasi antara UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dan UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 menjadi sangat penting untuk menyelesaikan konflik agraria secara menyeluruh.
Penguatan Hukum Hutan Adat dan Reformasi Agraria
PERSAKI mengusulkan agar nomenklatur hutan adat dan hutan rakyat dimasukkan secara eksplisit dalam revisi UU Kehutanan. Selain memberikan pengakuan hukum kepada wilayah-wilayah kelola masyarakat adat, langkah ini juga bertujuan menghindari kerancuan dengan skema izin usaha seperti IUPHHK.
“Profesi petani hutan (PETARU) harus diakui negara. Mereka bukan sekadar pengguna lahan, melainkan pelaku utama konservasi dan pemulihan lanskap hutan,” tambah Gunarso.
Dalam jangka panjang, PERSAKI mendorong sinkronisasi hukum antara UU Kehutanan dan UUPA melalui revisi perundangan, serta memperkuat fungsi pengawasan DPR. Hal ini dinilai krusial untuk mencegah deforestasi masif, menyeimbangkan pembangunan dengan konservasi, dan memastikan perlindungan hak masyarakat adat di seluruh Indonesia.
-- Rangkaya Bada