Tanah Dayak sebagai Pusat Peradaban Terancam Dirusak Oligarki
| Orang luar yang merusak ekologi Kalimantan. Ist. |
Peradaban manusia sering diukur dari kota-kota batu, candi megah, atau istana yang menjulang tinggi. Namun, peradaban Dayak bukan dibangun dari batu dan semen, melainkan dari hutan, sungai, rawa gambut, dan pegunungan Borneo yang luas.
Dari lanskap yang tampak tak tertembus ini, Dayak menimba kebijaksanaan ekologis yang halus tetapi dalam. Hutan bukan sekadar sumber daya; ia adalah guru, arsitek, dan pembimbing kehidupan. Setiap pohon, sungai, dan rawa memiliki cerita, mengajarkan ketahanan, kesabaran, dan kehati-hatian.
Ekologi Borneo mengajarkan manusia bahwa tidak semua hal bisa dikontrol. Tidak ada sawah beririgasi, tidak ada bendungan yang menaklukkan air, tidak ada dinding yang menahan hujan tropis. Hanya ada adaptasi, pengamatan cermat, dan hubungan spiritual yang mendalam dengan alam.
Peradaban Dayak adalah bukti nyata bahwa manusia mampu hidup selaras dengan lanskap ekstrem tanpa menaklukkannya, tanpa merusaknya. Hutan yang rapat, rawa yang dalam, sungai yang berjeram; semua itu membentuk cara berpikir, cara bertindak, bahkan cara bermimpi masyarakat Dayak.
Peradaban Dayak
Peradaban masyarakat Dayak tidak dibangun dari batu atau logam, tetapi dari pengetahuan ekologis yang diwariskan turun-temurun. Setiap lembah sungai, setiap bukit, setiap rawa memiliki identitas tersendiri yang membentuk bahasa, adat, dan ritual mereka. Jika peradaban agraris klasik menggantungkan hidup pada sawah dan irigasi, Dayak menggantungkan hidup pada pemahaman yang tajam terhadap siklus alam. Mereka mempelajari pergerakan air, rotasi angin, fase bulan, dan perilaku satwa liar sebagai bagian dari strategi bertahan hidup.
Ketika penjelajah Belanda memasuki pedalaman Borneo pada abad ke-19, mereka tercengang. Mereka menemukan hutan dipterokarpa yang menjulang hingga 30 meter, dengan akar banir raksasa yang membuat pergerakan hampir mustahil.
Kanopi hutan menahan sinar matahari sehingga lantai hutan tetap gelap dan lembap. Banyak penjelajah tersesat, meski berpengalaman, tanpa bantuan pemandu Dayak.
Alam Borneo yang “impenetrable” menjadi guru utama bagi masyarakat yang menempuh kehidupan di sana. Hutan dan sungai bukan hanya medan, tetapi institusi pembentuk karakter, moral, dan strategi sosial.
Para akademisi seperti MacKinnon (The Ecology of Kalimantan, 1996) menegaskan bahwa Borneo adalah salah satu bentang alam paling sulit ditembus di planet ini. Rawa gambut yang dalamnya 10 hingga 20 meter, tanah yang tidak stabil, dan medan yang berubah-ubah menuntut ketelitian dan kehati-hatian.
Kegagalan memahami alam bisa berakibat fatal. Pegunungan Schwaner-Müller, Meratus, dan Apo Kayan bukan hanya batas geografis, tetapi juga batas ekologis yang kemudian membentuk batas-batas adat. Pola permukiman Dayak mengikuti aliran sungai dan garis watershed, bukan garis buatan manusia. Dengan demikian, ekologi membentuk bukan hanya strategi bertahan hidup, tetapi struktur sosial, politik, dan budaya mereka.
Ladang Berpindah: Teknologi Ekologis Berbasis Pengetahuan Ribuan Tahun
Sistem ladang berpindah Dayak sering disalahpahami sebagai “perusak hutan” oleh industri kehutanan modern dan negara. Padahal, ladang berpindah adalah bentuk teknologi ekologis paling canggih yang lahir dari pengamatan ribuan tahun terhadap siklus alam.
Ladang bukan sekadar lahan yang dibakar; ia adalah sistem rotasi yang memperhatikan kesuburan tanah, regenerasi hutan, keseimbangan air, siklus angin, dan keberadaan satwa liar.
Setiap ladang dibuka pada musim tertentu mengikuti fase bulan. Penyiapan lahan diawali dengan ritual adat yang menghubungkan manusia dengan Dewata dan roh penjaga tanah. Pembakaran dilakukan secara terkendali, sehingga abu yang tersisa menjadi pupuk alami. Tanah yang pernah dibuka tidak ditinggalkan begitu saja; ia kembali menjadi hutan, menyerap hujan, menahan banjir, dan menyediakan habitat bagi flora dan fauna. Ladang berpindah adalah bukti nyata bahwa manusia dapat memanfaatkan alam tanpa merusaknya, bahkan memperkuat keseimbangan ekologis.
Sistem ini menunjukkan bahwa peradaban Dayak lahir dari observasi dan empati terhadap alam, bukan dominasi. Mereka tidak menguasai hutan dengan kekerasan, tetapi belajar dari hutan, menyesuaikan diri, dan hidup dalam harmoni. Ladang berpindah bukan hanya teknologi pertanian; ia adalah filosofi hidup yang menyatukan manusia, tanah, dan semesta.
Warisan yang Terancam
Namun, warisan ini kini menghadapi ancaman besar. Eksploitasi hutan skala besar, perkebunan sawit, tambang, dan proyek infrastruktur mengubah lanskap yang membentuk identitas masyarakat Dayak.
Sungai yang dulu menjadi jalur hidup kini tercemar; hutan yang dulu menjadi guru kini ditebang tanpa pandang bulu. Ancaman ini bukan hanya kehilangan sumber daya; ia adalah kehilangan pengetahuan, kehilangan identitas, dan hilangnya cara hidup yang telah teruji ribuan tahun.
Jika kita membiarkan alam Borneo terus dieksploitasi tanpa penghormatan terhadap kebijaksanaan ekologis masyarakat asli, kita tidak hanya merusak hutan tropis terbesar ketiga di dunia.
Kita merusak masa depan peradaban manusia itu sendiri. Dayak, dengan ladang berpindahnya, ritual adat, dan pengetahuan ekologi yang mendalam, menawarkan pelajaran penting: cara hidup yang berkelanjutan, cara hidup yang mengutamakan kehati-hatian, kesabaran, dan empati terhadap alam.
Borneo bukan sekadar pulau; ia adalah laboratorium hidup, guru yang tak ternilai harganya. Jika peradaban modern bersedia belajar, menghargai, dan menyesuaikan diri, mungkin kita masih bisa menyelamatkan paru-paru dunia dan sekaligus menghormati warisan manusia yang telah hidup selaras dengan alam selama ribuan tahun.
Hari ini, lebih dari sebelumnya, suara hutan Borneo bergema: jangan abaikan pelajaran yang telah diberikan oleh bumi ini.
Penulis: Hertanto Torunas Moncas