Dayak Perbatasan Malaysia-Indonesia yang Dibagi-bagi Kolonial

Dayak Perbatasan Malaysia-Indonesia yang Dibagi-bagi Kolonial
Kolonial yang memecah belah Dayak dan memetik keuntungan di Borneo.Ist.

Oleh Masri Sareb Putra, Dr. (Cand.)

Dalam hening Long Midang. Kudengar Indonesia raya seperti bisik dari balik rimba. Pelan. Tak hendak memekik. 

Syair dan lagu kebangsaan Indonesia itu hanya ingin mengingatkan bahwa kita masih ada. Di sini. Di belantara Borneo yang nyaris tak tersentuh. Di anak-anak yang tetap berbahasa ibu. Di adat yang tak selesai menjadi sejarah.

Long Midang. Nama yang seperti singgah di udara. Tak perlu peta. Cukup bayangkan satu tubuh besar. Garuda di dada. Malaysia di perut. Tubuh yang retak oleh garis yang dibuat orang jauh. Namun hidup tetap berjalan. Dengan pelan. Dengan teratur. Dengan degup yang tak berubah sejak lama.

Kami tiba pada siang 15 Juni 2025. Matahari perbatasan memancarkan sinarnya. Namun, di Krayan pisau cahaya itu tak membuat panas sebab hawa dataran tinggi sungguh berbeda. Tapi tak ada yang menahan langkah kami ke sempadan. Yansen memotret aku dan Pepih yang bergerak seperti burung ketilang di dahan cempaka. Melompat tanpa suara di perbatasan yang sejatinya hanyalah gores tipis. Sebuah garis yang pernah digambar dua kekuasaan yang kini tinggal nama. Kompeni di satu sisi. Rajah putih di sisi lain. Keduanya lenyap. Garisnya bertahan.

“Saudara kami tinggal di sana.” ujar Yansen. Tangannya menunjuk jalan turun. Di ujung jarinya terhampar Ba Kelalan. Tanah ulayat Malaysia yang bernafas dengan bahasa yang sama. Lundayeh di sini. Lundayeh di seberang. Dipisah negara. Disatukan ingatan.

***

Di Long Midang batas bukan pagar. Ia detak. Sunyi tetapi hadir. Seperti nadi yang tak pernah terlihat namun menentukan seluruh tubuh. Batas yang rapuh. Batas yang tabah. Batas yang setiap hari diuji oleh hal-hal kecil. Oleh orang-orang yang berjalan sambil memikul keranjang rotan. Oleh anak muda yang menyeberang untuk berlaga bola. Oleh tetua yang membawa cerita turun temurun. Seolah peta bukan pusat hidup. Hanya latar.

Di sini nasionalisme tidak bermain dengan suara keras. Ia tidak digantung di baliho. Ia singgah di langkah harian. Dalam pilihan. Dalam cara menjaga hutan. Dalam sikap yang tak menginginkan tanah terjual. Dalam keputusan diam untuk tetap Indonesia tanpa perlu menolak dunia luar.

Hutan primer masih tegak. Seperti pasal kuno yang dijaga tanpa tertulis. Udara bersih seperti pernyataan iman. Bukit yang membungkus ulayat berdiri seperti altar alami. Semua itu tidak dibuat untuk wisata. Tidak untuk selfie. Ia hidup dalam diri mereka. Longhouse mereka bukan museum. Ia napas. Ia ritus yang tak ditagih dana.

Mereka terbuka. Namun tidak tunduk. Modernitas mereka undang. Tidak untuk menguasai. Untuk diajak bicara. Mereka memilih berjalan bersama zaman tanpa mengkhianati akar. Ekowisata bagi mereka bukan proyek. Ia hubungan timbal balik. Ia perjumpaan. Ia cara dunia luar membaca kembali dirinya.

Di seberang, cara hidup tak jauh berbeda. Namun Long Midang memilih jalannya sendiri. Tetap Dayak. Tetap Indonesia. Tetap menjadi penjaga hening yang tak meminta perhatian.

***

Saya kerap melihat perbatasan sebagai ruang ujian. Filsuf tua pernah menulis bahwa peradaban diuji di tepinya. Long Midang menjalani ujian itu tanpa pedang. Yang mereka punya hanya ketekunan. Kecintaan pada tanah yang masih perawan. Pada adat yang mengatur lebih baik daripada undang-undang yang dicetak terburu. Pada hidup yang tidak sibuk mencari sorotan.

Kadang saya melihat Long Midang sebagai puisi. Belum selesai. Masih ditulis oleh angin yang membawa bau tanah basah. Oleh suara anak-anak yang berlari tanpa alas kaki. Oleh malam yang turun tanpa listrik. Oleh makan bersama dalam longhouse. Oleh tawa kecil yang menusuk seperti cahaya kecil di ruang gelap.

Pengunjung yang datang pulang bukan hanya membawa foto. Mereka membawa sesuatu yang tak mudah disebut. Mungkin pemahaman. Mungkin kesadaran bahwa Indonesia bukan pusat kekuasaan. Bahwa negeri ini masih hidup di pinggir. Di tempat yang jauh dari layar televisi. Di tempat yang tidak ingin menjadi apa-apa selain dirinya sendiri.

Long Midang berbicara tanpa suara. Ia menggetarkan tanpa teriak. Ia menunjukkan bahwa menjaga hutan kadang lebih patriotik daripada pidato panjang. Bahwa menolak menjual tanah lebih berani daripada jargon di rapat-rapat. Bahwa keteguhan bisa hadir dalam bentuk paling lembut.

Di era digital ketika batas jarang berarti, Long Midang mengingatkan bahwa garis di tanah tetap penting. Bukan sebagai dinding. Sebagai pengakuan. Bahwa kita hadir. Bahwa kita berdiri.

Barangkali itu sebabnya siapa pun yang datang ke sana akan membawa pulang sejenis ziarah. Tidak untuk agama. Untuk makna. Untuk mengingat bahwa Indonesia dibangun bukan hanya oleh pusat. Melainkan oleh sunyi seperti ini. Yang jauh. Yang sederhana. Yang menahan diri untuk tidak berubah menjadi sesuatu yang bukan dirinya.

Long Midang. Sebuah titik hening. Namun justru di hening itulah Indonesia berdetak paling jelas.

Penulis berasal dari wilayah perbatasan yang mengalami dan menarasikan "dari dalam". 

Next Post Previous Post