5 Peringatan Menghindari Indonesia Bangkrut: Catatan Tajam Prof. Agus Pakpahan

Prof. Agus Pakpahan
Prof. Agus Pakpahan. Dok. Rmsp.

Pengantar

Persoalan bangsa adalah persoalan Borneo. Keduanya seperti satu tubuh yang saling terhubung. Tidak mungkin Borneo berdiri tegak jika bangsa sedang goyah. Tidak mungkin pula masyarakat menikmati hutan, sungai, dan tanah leluhur Borneo jika Negara Indonesia berada di ambang kebangkrutan.

Dalam kaitan itu, redaksi merasa perlu menyampaikan kembali gagasan dari seorang pemikir futuristik, Prof. Agus Pakpahan. Catatan refleksi akhir tahun 2025 beliau bukan hanya peringatan keras, tetapi undangan untuk merenung dan bertindak. Gagasan ini kami bagi agar menjadi bahan renungan bersama, khususnya bagi masyarakat Borneo yang selalu berada di garis depan dampak kebijakan nasional.

Pesan beliau tegas, tajam, namun tetap memberi harapan: Indonesia masih bisa selamat, asalkan berani berbenah.


1. Kita Telah Menyimpang dari Pasal 33

Pasal 33 mengamanatkan perekonomian nasional berbasis kekeluargaan dan kemakmuran bersama. Tetapi dalam praktik, Hak Guna Usaha (HGU) berubah menjadi komoditas finansial; tanah dijadikan aset spekulatif, bukan ruang hidup rakyat. Utang luar negeri membengkak dan amanah konstitusi bergeser menjadi alat akumulasi modal segelintir elite.

Empati: Penyimpangan ini dirasakan langsung oleh petani yang tergusur, masyarakat adat yang kehilangan hutan, dan keluarga kecil yang tak lagi memiliki akses atas tanah.

Solusi:
Mengembalikan politik agraria yang berkeadilan, menegakkan kembali roh Pasal 33, serta menata regulasi HGU agar menjadi instrumen produksi nasional, bukan spekulasi finansial.

2. Kita Sedang Memakan Masa Depan Anak Cucu

Setiap anak yang stunting, setiap hektar hutan yang hilang, setiap pekerja migran yang pergi karena tidak tersedia pekerjaan layak, setiap generasi yang gagal menempuh pendidikan tinggi adalah tagihan utang sosial dan ekologis yang harus dibayar oleh generasi mendatang.

Empati: Kerusakan ekologis dan sosial bukan angka di laporan, tetapi tragedi nyata bagi keluarga biasa.
Solusi: Investasi besar pada gizi, pendidikan, kesehatan dasar, perlindungan ekologis, dan penciptaan kerja produktif di tingkat lokal.

3. Kita Pernah Kehilangan Kedaulatan

Krisis 1998 menunjukkan bahwa bangsa dapat kehilangan kedaulatan tanpa ditembak dan tanpa dijajah. Cukup melalui beban utang, negara dapat dipaksa mengikuti paket kebijakan yang tidak seluruhnya sesuai dengan kepentingan nasional.

Empati: Luka sosial ekonomi akibat 1998 masih membekas pada jutaan keluarga.
Solusi: Membangun disiplin fiskal, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, serta memperkuat ekonomi domestik yang berdaulat.

4. Kita Belum Mengakui Ilmu Koperasi

Bangsa tropis seperti Indonesia membutuhkan model ekonomi yang sesuai dengan karakter ekologis dan sosialnya. Namun ilmu koperasi sebagai fondasi sistem ekonomi kekeluargaan yang diperintahkan konstitusi belum diberi tempat yang semestinya di universitas maupun kebijakan publik.

Empati: Tanpa pengakuan akademik, koperasi sering dipinggirkan, padahal ia menjadi penyelamat ekonomi bagi jutaan keluarga kecil.
Solusi: Menjadikan ilmu koperasi sebagai disiplin unggulan, memperkuat koperasi modern, dan menempatkannya sebagai arus utama ekonomi rakyat.

5. Tetapi Masih Ada Waktu untuk Berbalik

Prof. Agus menegaskan bahwa pesimisme bukan jawaban. Indonesia masih memiliki ruang untuk bangkit asalkan berani kembali ke arah yang benar. Dua pilar utamanya adalah Kooperatisasi dan Tropikanisasi.

Kooperatisasi: Menghidupkan kembali ekonomi gotong royong yang berakar pada nilai bangsa, bukan logika monopoli kapital.
Tropikanisasi: Membangun ekonomi yang selaras dengan ekologi tropis, menghormati hutan, tanah, air, pengetahuan lokal, dan realitas geografis Indonesia; bukan memburu model pertumbuhan yang merusak.

Empati: Jalan pulang ini tidak mudah, tetapi inilah jalan yang menghormati martabat rakyat.
Solusi: Mengarahkan kebijakan ekonomi pada ekosistem tropis, memperkuat koperasi sebagai institusi rakyat, dan menyiapkan generasi muda yang modern tetapi berakar pada realitas lokal.

Next Post Previous Post