Pudoi, Buah Hutan Endemik Dayak Kalimantan Barat

Pudoi, buah endemik khas Kalimantan Barat.
Pudoi, buah endemik khas Kalimantan Barat. Kredit gambar: Lathus.

Jika Anda pecinta alam dan buah tropis, datanglah ke Kalimantan pada musim buah. Biasanya berlangsung antara Desember hingga Februari, saat hutan tropis mulai memunculkan aneka aroma dan warna dari buah yang masak di pohon. Ini masa ketika hutan seperti membuka diri dan menunjukkan kekayaan yang jarang terlihat pada bulan-bulan biasa.

Salah satu buah endemik Borneo yang layak dicari adalah pudoi, buah kecil yang tidak ditemukan di daerah mana pun di luar pulau ini. Pudoi tumbuh alami di hutan hujan, dikenal oleh masyarakat Dayak, dan menjadi bagian dari kekayaan hayati Borneo yang masih tersembunyi dari perhatian banyak orang.

Pudoi adalah buah hutan yang tumbuh diam-diam di pedalaman Borneo. Masyarakat Dayak Bidayuh di Kalimantan Barat mengenalnya sejak lama. Buah ini menjadi penanda betapa kayanya hutan hujan tropis yang masih bertahan di pulau itu. 

Di tengah ratusan buah endemik, pudoi menonjol karena berbuah setiap tahun. Ritmenya stabil. Tidak seperti banyak buah hutan lain yang hanya muncul sekali setahun, atau bahkan tiga tahun sekali. Pudoi hadir tanpa banyak gejolak, seolah mengikuti detak alam yang ia pahami sendiri.

Cempedak mini

Bentuknya membuat orang teringat pada cempedak, tetapi dalam ukuran yang lebih kecil. Pohonnya rendah. Daunnya tipis dan halus. Buahnya ramping dengan kulit yang tidak kasar. 

Saat matang, aromanya cukup menyengat. Namun, tidak terlampau menabrak hidung seperti cempedak atau nangka. Luar permukaan buahnya sekilas serupa buah sukun. Daging buahnya menyerupai tarap. Teksturnya lembut dan manis tenang. Rasanya tidak menguasai lidah. Ia hadir sekadarnya, tetapi meninggalkan kesan yang sulit dilupakan. Pudoi memang tidak mencari sorotan, namun justru itu yang membuatnya menarik.

Bagi masyarakat Dayak Bidayuh, pudoi bukan sekadar buah hutan. Ia bagian dari pengetahuan turun-temurun yang disimpan tanpa catatan. Mereka tahu persis kapan buah ini mulai muncul. Mereka tahu kapan waktunya dipetik.

Dalam musim panen hutan, pudoi ikut dibawa ke pasar kecil sebagai tambahan penghasilan. Pohonnya menjadi sumber pangan satwa liar: burung, tupai, hingga serangga pemakan buah. 

Pudoi tumbuh baik di tanah lembap dan curah hujan tinggi. Keberadaannya sering menjadi penanda bahwa hutan di sekelilingnya masih sehat.

Ancaman terhadap pudoi

Ancaman terhadap pudoi mulai datang ketika hutan digeser oleh perkebunan dan tambang. Banyak tempat yang dulu menjadi habitatnya lenyap dalam hitungan tahun. Jika tidak segera dicatat dan dijaga, pudoi bisa menghilang tanpa sempat dikenali dunia luar. 

Pelestarian tidak cukup hanya dengan seruan. Dibutuhkan riset yang lebih terarah dan dukungan masyarakat adat yang hidup paling dekat dengan pohonnya. 

Pudoi mungkin buah kecil. Namun kisahnya mengingatkan bahwa kekayaan Borneo tidak selalu berteriak. Sebagian justru berbisik dari balik rimbun hutan.

Penulis: Rangkaya Bada

Next Post Previous Post