Penguasaan Oligarki atas Borneo: Rumah Panjang dan Hutan Adat yang Diambil Alih

 

Penguasaan Oligarki atas Borneo: Rumah Panjang dan Hutan Adat yang Diambil Alih
Deforestasi dan eksploitasi Borneo oleh oligarki. Ist.

Oleh Apai Deraman

Penguasaan oligarki atas Borneo hari ini dapat diringkas dalam satu metafora besar: sebuah pulau kaya yang tengah dimainkan dari jauh oleh tangan-tangan yang tidak menjejak tanahnya. 

Borneo tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup. Pulau terbesar ke-3 di dunia diubah menjadi papan permainan, dipetakan, dihitung, diperas; seolah tidak ada manusia yang tinggal di balik bentang hutannya. 

Dari metafora itu lahir gambaran yang lebih pedih: Borneo sebagai wayang yang digerakkan dalang tak terlihat. Borneo sebagai belantara yang dijadikan ladang perburuan modal; sebagai rumah besar yang kunci pintunya diserahkan kepada orang yang bahkan tidak pernah berdiri di beranda rumah itu. 

Setiap metafora memperlihatkan cara oligarki bekerja: jauh, sunyi, namun menetapkan nasib.

Rumah panjang dan hutan adat yang dicaplok

Dahulu kala sebuah rumah panjang Dayak berdiri sebagai ruang hidup yang utuh. Di sanalah cerita keluarga berlapis-lapis dan ingatan leluhur dijaga. Kini datang para tamu yang tidak pernah tidur di bilik mana pun, membawa peta, penggaris, dan stempel.

Tamu itu berkata dengan suara yakin bahwa rumah panjang itu perlu dibagi. Mereka tidak mengerti kayu yang dipilih dengan doa. Mereka tidak merasakan anyaman relasi yang membuat rumah itu berdiri ratusan tahun. Namun mereka merasa berhak menata ulang semuanya. Begitulah oligarki memperlakukan Borneo. Pulau ini dilihat bukan sebagai rumah orang, tetapi sebagai ruang kosong yang bisa dihitung, dibagi, dan diperas untuk keuntungan yang bahkan tidak menetap di tanah ini.

Penguasaan itu bekerja senyap seperti jaring laba-laba raksasa. Jaringnya halus dan tidak tampak oleh mata masyarakat yang sibuk dengan kehidupan sehari-hari. Benang-benangnya ditarik dari gedung-gedung tinggi di kota besar. Tidak pernah dari rumah kayu di tepi sungai. 

Di balik rapat-rapat berpendingin udara, keputusan tentang hutan adat, sungai, dan tanah leluhur dibuat seolah semuanya tidak lebih dari lembar portofolio investasi. Sekali seseorang tersangkut pada jaring itu, entah melalui kontrak konsesi, utang modal, atau janji kesejahteraan cepat, keluarnya membutuhkan pengorbanan besar. Yang tertinggal sering kali hanyalah ruang hidup yang menyempit dan luka sosial yang membekas.

Pada sisi lain, Borneo berubah seperti sungai yang alirannya dibelokkan tanpa meminta izin pada mereka yang tinggal di hilir. Sungai yang dulunya membawa ikan dan cerita kini diarahkan menjadi jalur logistik industri. 

Hutan yang dulu menjadi perisai berubah menjadi komoditas. Tanah yang dihormati sebagai warisan leluhur berubah menjadi sertifikat dingin yang berpindah tangan lebih cepat daripada musim panen padi. Keluarga yang tinggal di pedalaman sering terbangun suatu pagi dan mendapati tanah mereka sudah masuk dalam peta perusahaan, lengkap dengan garis batas yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

Penguasaan oligarki atas Borneo

Penguasaan oligarki juga menyerupai papan catur besar. Para pemainnya tidak tinggal di rumah panjang yang menjadi korban langkah mereka. Mereka tidak pernah berjalan di jalan setapak yang menjadi satu-satunya jalur menuju ladang. Mereka tidak tahu makna burung enggang dalam kosmologi Dayak. Namun mereka menggerakkan bidak sambil menyeruput kopi mahal. Harga satu cangkir kopi mungkin lebih tinggi daripada ganti rugi tanah satu keluarga. Di papan itu setiap langkah dianggap strategi. Tetapi bagi masyarakat adat setiap langkah adalah kehilangan. Kepergian hutan, surutnya sungai, hilangnya batas ladang. Pada akhirnya papan catur yang tampak elegan itu sesungguhnya adalah peta keperihan.

Borneo kini berada dalam permainan mereka yang tidak pernah tinggal di tanah yang mereka ambil. Pulau itu dilihat sebagai aset yang bisa ditambah, dipotong, atau dikemas ulang untuk kepentingan segelintir nama besar. Identitas budaya yang hidup turun-temurun diperlakukan seperti catatan kaki. Kearifan lokal diposisikan sebagai ornamen. Dan sejarah panjang yang menjaga keseimbangan alam dianggap gangguan bagi arus modal yang terus mengalir.

Namun narasi ini tidak berhenti pada kelamnya permainan itu. Di balik semua tekanan, ada perlawanan yang bekerja seperti akar ulin yang merayap senyap jauh di bawah tanah. Tidak terlihat dari permukaan, tetapi kokoh mencengkeram bumi. Masyarakat adat bergerak dengan logika yang tidak dikenal oleh para pengambil keputusan di kota. Logika itu tidak menghitung laba tahunan. Logika itu menjaga hubungan dengan leluhur, memelihara sungai, dan memastikan bahwa tanah tetap hidup bagi generasi berikutnya. Mereka bukan pion di papan catur. Mereka adalah penjaga rumah panjang yang tidak rela pintunya diganti dengan pintu besi korporasi.

Memahami Borneo hari ini

Memahami Borneo hari ini berarti memahami bagaimana narasi dibentuk. Selama Borneo dilihat sebagai aset, ia akan terus menjadi objek permainan. Namun jika cara pandang kembali ke asalnya, bahwa pulau ini adalah rumah dan ruang suci, maka semua metafora berubah arah. Borneo tidak lagi tampil sebagai papan permainan, melainkan sebagai tubuh sejarah yang harus dilindungi.

Di tengah perebutan ruang hidup ini, Borneo berdiri seperti penari tua yang menari mengikuti irama yang ia ingat sendiri. Gendangnya mungkin dipukul oleh tangan lain, tetapi geraknya masih mengandung daya. Selama masih ada yang menjaga ingatan itu, Borneo tidak akan pernah sepenuhnya hilang dari dirinya sendiri.

Next Post Previous Post