Mie Pangsit Mien Fong, Sekadau yang Lezat dan Perisa
| Mie Pangsit Mien Fong sejak 1960: nikmat sedap. Ist. |
Oleh Masri Sareb Putra
Jika suatu waktu Anda sedang dinas atau plesir ke Sekadau, Kalimantan Barat, jangan lupa singgah menikmati kuliner legendaris di Mie Pangsit Mien Fong.
Resto sederhana ini berada di jantung pasar
Sekadau, tempat lalu-lalang warga yang berbelanja hasil bumi, sayur, dan ikan
sungai setiap pagi. Di antara hiruk pikuk itu, aroma kaldu gurih dan pangsit
rebus dari dapur Mien Fong memikat siapa pun yang lewat.
Sekilas, rumah makan ini tidak tampak menonjol. Dindingnya
masih berlapis papan kayu tua, dengan kipas angin berputar pelan di
langit-langit. Namun, begitu semangkuk mie tersaji di hadapan, pengunjung
seolah dibawa ke masa lalu, pada era ketika orang Tionghoa perantauan datang ke
Borneo membawa keahlian berdagang dan memasak yang kemudian berbaur dengan
selera lokal.
Sajian utamanya, mie pangsit babi, sudah menjadi
legenda kuliner di Sekadau. Teksturnya kenyal, bumbunya ringan tetapi gurih,
dengan topping potongan daging babi panggang berwarna cokelat kemerahan dan
minyak bawang putih yang harum. Satu mangkuk dihargai Rp15.000, harga yang
masih bersahabat bahkan bagi pelajar atau pekerja harian. Minumannya pun khas: sari
tahu hangat, minuman kesukaan orang Tionghoa, yang menetralkan rasa lemak
dari daging babi.
“Jangan takabur,” kata seorang pelanggan lama sambil
tersenyum. “Mie ini memang enak, tapi bukan untuk semua orang. Kalau tidak
makan babi, ya sebaiknya jangan coba-coba.” Ucapannya disambut tawa kecil di
meja lain. Dalam masyarakat majemuk seperti Sekadau, perbedaan selera makanan
diterima dengan penuh pengertian.
Dari Kakek Fong ke Cucu Penjaga Cita Rasa
“Fong nama kakek saya. Mien itu mie,” tutur sang
pemilik yang kini mengelola usaha keluarga tersebut. Ia adalah cucu Fong,
lelaki perantau Hakka yang datang ke Sekadau puluhan tahun silam, ketika pasar
masih berupa deretan los sederhana beratap seng. “Kakek dulu buka warung kecil.
Jualan mie pakai tungku arang. Orang-orang panggil dia Kie Fong,” kenangnya
sambil menyiapkan adonan mie dengan tangan terampil.
Cerita keluarga ini menjadi bagian dari perjalanan panjang
masyarakat Tionghoa di Borneo. Mereka datang sebagai pedagang dan perajin, lalu
berbaur dengan masyarakat Dayak dan Melayu setempat. Banyak dari mereka
mempertahankan tradisi kuliner leluhur, sembari menyesuaikan cita rasa dengan
bahan-bahan lokal.
Mie buatan Mien Fong, misalnya, tidak menggunakan pengawet.
Tepung terigu, telur, dan sedikit minyak sayur diuleni setiap pagi. Pangsitnya
diisi daging babi cincang dan bumbu bawang putih. Kuahnya direbus dari tulang
babi yang dimasak lama hingga bening. Semua dilakukan dengan cara yang sama
seperti yang diajarkan kakeknya.
Kini, generasi ketiga keluarga Fong berusaha menjaga warisan itu di tengah perubahan zaman. Pelanggan mereka bukan hanya orang Tionghoa, tetapi juga masyarakat lokal dari berbagai latar belakang. Banyak yang datang karena rasa nostalgia, sebagian lagi karena penasaran ingin mencicipi mie legendaris yang sering disebut-sebut oleh para perantau Sekadau di media sosial.
Tempat Bertemu dan Bernostalgia
Setiap pagi, antrean sudah mulai terbentuk sejak pukul
tujuh. Pengunjung duduk di bangku kayu panjang, menunggu giliran sambil
mengobrol santai. Tak jarang, di meja yang sama duduk berdampingan petani,
pegawai bank, dan sopir angkutan. Semua disatukan oleh satu hal: semangkuk mie
yang menghangatkan perut sekaligus hati.
“Warung ini bukan hanya tempat jualan, tapi tempat orang
bertemu,” kata si pemilik. “Dari dulu kakek saya bilang, orang datang bukan
cuma karena lapar, tapi karena ingin merasa dekat.”
Suasana akrab itu membuat Mien Fong lebih dari sekadar rumah
makan. Ia menjadi ruang kecil yang menghubungkan masa lalu dan masa kini,
tradisi dan perubahan.
Di tengah geliat modernisasi dan persaingan kuliner cepat
saji, Mie Pangsit Mien Fong tetap bertahan dengan kesederhanaannya.
Tidak ada papan nama besar, tidak ada promosi di media daring. Yang menjaga
reputasinya adalah cita rasa, konsistensi, dan kehangatan hubungan antarmanusia
yang terjalin di meja-meja kayu tua itu.
Semangkuk mie di pasar Sekadau ini bukan hanya soal makanan.
Ia adalah kisah tentang warisan, ketekunan, dan rasa yang menyatukan lintas
generasi.